Sabtu, 05 Desember 2009

PENGARUH FAKTOR INTERNAL BANK TERHADAP VOLUME KREDIT PADA BANK YANG GO PUBLIC DI INDONESIA

Sumber : http://akuntansi.usu.ac.id/jurnal-akuntansi-6.html

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam UU No.10 tahun 1998 dikatakan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak”. Dengan demikian, bank merupakan bagian dari lembaga keuangan yang memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkan dana yang dihimpunnya kepada masyarakat yang kekurangan dana (Abdullah, 2005:17).
Masyarakat yang kelebihan dana dapat menyimpan dananya di bank dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu sesuai kebutuhan dan disebut sebagai dana pihak ketiga. Sementara masyarakat yang kekurangan dan membutuhkan dana dapat mengajukan pinjaman atau kredit pada bank. Penyaluran kredit merupakan kegiatan yang mendominasi usaha bank dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Selain untuk mensejahterakan masyarakat, kredit yang dilaksanakan oleh bank juga bertujuan untuk memperoleh laba, yang berasal dari selisih bunga tabungan yang diberikan pada nasabah penabung dengan bunga yang diperoleh dari nasabah debitor dan merupakan sumber utama pendapatan bank.
Lukman Dendawijaya (2005:49) mengemukakan bahwa “dana-dana yang dihimpun dari masyarakat dapat mencapai 80%-90% dari seluruh dana yang dikelola bank dan kegiatan perkreditan mencapai 70%-80% dari kegiatan usaha bank”. Menurut Dahlan Siamat (2005:349) “salah satu alasan terkonsentrasinya usaha bank dalam penyaluran kredit adalah sifat usaha bank sebagai lembaga intermediasi antara unit surplus dengan unit defisit dan sumber utama dana bank berasal dari masyarakat sehingga secara moral mereka harus menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit”. Sebagaimana umumnya negara berkembang, sumber pembiayaan dunia usaha di Indonesia masih didominasi oleh penyaluran kredit perbankan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bank dalam menyalurkan kreditnya dipengaruhi baik oleh faktor eksternal bank seperti peraturan moneter yang berlaku, persaingan, situasi sosial politik, karakteristik usaha nasabah, suku bunga dan sebagainya, maupun dipengaruhi faktor internal bank seperti kemampuan bank dalam menghimpun dana, financial position (capital adequacy ratio, aktiva tertimbang menurut resiko, batas maksimum pemberian kredit), kualitas aktiva produktifnya dan faktor produksi yang tersedia di bank (Teguh Pudjo Muljono, 1996:210). Menurut Warjiyo (2005:435) “perilaku penawaran atau penyaluran kredit perbankan dipengaruhi oleh suku bunga, persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan faktor lain seperti karakteristik internal bank yang meliputi sumber dana pihak ketiga, permodalan yang dapat diukur dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) dan jumlah kredit bermasalah (non performing loan)”. Muliaman Hadad (2004:22) menambahkan selain faktor-faktor tersebut, faktor profitabilitas atau tingkat keuntungan yang tercermin dalam rasio return on assets juga berpengaruh terhadap keputusan bank untuk menyalurkan kredit.
Krisis ekonomi tahun 1997 yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menurun sehingga perbankan kesulitan dalam menghimpun dana dari masyarakat, yang menyebabkan masyarakat takut kalau dana yang telah dititipkan tidak dapat dikembalikan. Menurut Harmanta dan Ekananda (2005:71), dari sisi perbankan, krisis tersebut mengakibatkan melambatnya pertumbuhan dana pihak ketiga dan berdampak menurunnya lending capacity perbankan, sehingga mengurangi kemampuan bank dalam menyalurkan kredit. Selain itu, kondisi perbankan itu sendiri seperti masih tingginya kredit macet yang dialami perbankan dan timbulnya masalah penurunan permodalan berakibat pada turunnya kemampuan bank dalam menyalurkan kredit.
Beberapa tahun terakhir setelah krisis, kinerja sektor perbankan menunjukkan trend yang terus membaik, tercermin dari pulihnya kepercayaan terhadap perbankan dengan adanya program penjaminan pemerintah telah mendorong kenaikan dana pihak ketiga. Selain itu, program rekapitalisasi perbankan telah memulihkan permodalan bank, berkurangnya non performing loan dan meningkatnya profitabilitas bank. Menurut Warjiyo (2005:435) “fungsi intermediasi perbankan terus mengalami perbaikan seiring dengan pulihnya kepercayaan masyarakat, permodalan dan kualitas asset, tetapi penyaluran kredit masih tergolong lambat di Indonesia”. Berdasarkan laporan perkembangan perbankan dari bank Indonesia hingga akhir 2007 dikatakan bahwa “kinerja indusri perbankan terus membaik dengan peran intermediasi yang semakin meningkat dan telah meningkatkan profitabilitas perbankan, meskipun perbandingan antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank yang tercermin dalam loan to deposit ratio belum mencapai 80% sesuai yang ditetapkan Bank Indonesia”.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis merasa tertarik untuk membahas sebuah jurnal tentang Pengaruh Faktor Internal Bank Terhadap Volume Kredit Pada Bank yang Go Public diindonesia yang dibuat oleh Fransisca dan Drs. Hasan Sakti Siregar,M.Si,Ak dari Universitas Sumatera Utara.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh dari masing – masing variable independent yang tediri dari dana pihak ketiga, CAR, ROA, dan NPL terhadap Volume kredit atau variable dependen?
2. Bagaimanakah pengaruh variabel independen yang terdiri dari dana pihak ketiga, CAR, ROA, dan NPL secara bersama – sama terhadap variable dependen atau volume kredit ?

1.3. Batasan Masalah
1. sampel yang digunakan hanya bank yang go public di Indonesia dan listing di Bursa Efek Jakarta (Indonesia), sehingga tidak diketahui bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen pada bank umum yang tidak go public dan bank devisa.
2. penulis hanya menggunakan rasio dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, return on asset dan non performing loan yang terbatas pada faktor internal bank, sedangkan faktor internal lain dan faktor eksternal yang mempengaruhi volume kredit tidak dimasukkan dalam penelitian.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh dari masing – masing variable independent yang tediri dari dana pihak ketiga, CAR, ROA, dan NPL terhadap Volume kredit atau variable dependen.
2. Untuk mengetahui pengaruh variable independen yang terdiri dari dana pihak ketiga, CAR, ROA, dan NPL secara bersama – sama terhadap variable dependen atau volume kredit.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi para mahasiswa tentang pengaruh faktor internal bank terhadap volume kredit pada bank yang go public diindonesia.
2. Penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi pihak bank dalam upaya meningkatkan kualitas kredit perbankan.


BAB II
REVIEW

2.1. Metodologi Penelitian
2.1.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh bank-bank yang go public di Indonesia dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. Jumlah populasi yang ada adalah 23 bank pada tahun 2005, 26 bank pada tahun 2006 dan 31 bank pada tahun 2007. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2004:78). Beberapa pertimbangan yang digunakan dalam menentukan sampel adalah:
1. Bank-bank tersebut terdaftar di Bursa Efek Jakarta (Indonesia) pada tahun 2005, 2006 dan 2007
2. Bank-bank tersebut tidak sedang berada dalam proses delisting pada periode tersebut,
3. Menerbitkan dan mempublikasikan laporan keuangan pada periode 2005-2007.
Hasil seleksi dengan menggunakan metode purposive sampling mendapatkan 66 sampel penelitian.
2.1.2. Variabel Penelitian
Variabel independen (bebas), merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lain (Umar, 2003:50). Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, return on asset dan non performing loan. Variabel independen disimbolkan dengan “X1” (dana pihak ketiga atau DPK), “X2” (capital adequacy ratio atau CAR), “X3” (return on asset atau ROA) dan “X4” (non performing loan atau NPL).
Variabel dependen (terikat), merupakan variabel yang dijelaskan atau yang dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah jumlah atau volume penyaluran kredit. Variabel dependen disimbolkan dengan “Y”.
2.1.3. Prosedur Pengambilan Data
Jenis Data yang digunakan berupa data sekunder yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi dan tidak memerlukan pengolahan lebih lanjut seperti laporan keuangan tahunan. Data diperoleh dari media internet melalui situs www.idx.co.id berupa laporan keuangan bank yang dipublikasikan.
Dilihat dari dimensi waktu, data yang digunakan adalah data pooling yaitu data yang diperoleh adalah kombinasi antara data runtun waktu (time series) dan data silang tempat (cross section).
Data time series pada penelitian ini adalah data laporan keuangan tahunan perusahaan perbankan yang diterbitkan selama 3 tahun. Periode pengamatan yang digunakan adalah tahun 2005-2007. Penggabungan data cross section sebanyak 22 perusahaan perbankan dan data time series selama 3 tahun menghasilkan 66 observasi (22 X 3). Pengujian parametrik dilakukan karena jumlah observasi sudah memenuhi syarat (66 ≥ 30).
2.1.4. Metode dan Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis statistik dengan menggunakan SPSS 15. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda untuk menganalisis besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengujian yang dapat dilakukan meliputi uji asumsi klasik dan uji hipotesis. Besarnya alpha yang digunakan adalah 5%.
a. Uji asumsi klasik terhadap sampel adalah uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskedatisitas. Pengujian terhadap normalitas data dilakukan agar asumsi dalam statistika parametrik dapat terpenuhi. Uji multikolinearitas untuk melihat apakah ada korelasi yang sangat kuat antar variabel independen. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 atau sebelumnya. Uji heterokedasitas ini adalah untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
b. Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen.
Y=a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + e
Dimana:
Y = (jumlah/volume) penyaluran kredit
a = konstanta
b1,b2,b3,b4= koefisien regresi yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel independen.
X1 = dana pihak ketiga
X2 = CAR (capital adequacy ratio)
X3 = ROA (return on asset)
X4 = NPL (non performing loan)
e = tingkat kesalahan penganggu
Hipotesis yang akan diuji yaitu:
Ho : β1 = β2 = β3 = β4
Artinya tidak semua variabel independen berpengaruh secara simultan.
Ha : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4
Artinya semua variabel independen berpengaruh secara simultan.
Untuk menguji hipotesis ini, digunakan statistic F dengan membandingkan F hitung dengan F tabel dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:
Jika Fhitung > Ftabel, maka Ha diterima (α =5%)
Jika Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima (α =5%)
Untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial digunakan uji t. Uji ini dilakukan untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki rata-rata yang sama atau tidak sama secara signifikan.
Ho : βi = 0
Artinya suatu variabel independen yang sedang diuji bukan merupakan penjelas signifikan terhadap variabel dependen.
Ha : βi ≠ 0
Artinya variabel independen tersebut merupakan penjelas signifikan terhadap variabel dependen.
Uji ini dapat dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t table dengan ketentuan sebagai berikut:
Jika thitung > ttabel, maka Ha diterima (α =5%)
Jika thitung < ttabel, maka Ha ditolak (α =5%)
2.2. Analisis dan Pembahasan
2.2.1 Uji Normalitas
Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S), apabila signifikansi lebih besar dari 0.05 maka H0 diterima, sedangkan jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0.05 maka H0 ditolak.
Dari hasil pengolahan data (tabel 1,lampiran),. secara keseluruhan data tidak terdistribusi normal karena unstandarized residual lebih kecil dari 0,05. Untuk itu data di-treatment menggunakan model log-log (Nachrowi, 2002:86), yaitu melakukan transformasi data ke model logaritma natural (LN). Kredit = f(DPK, CAR, ROA, NPL) menjadi LN_Kredit = f (LN_DPK,LN_CAR,LN_ROA,LN_NPL). Dari tabel 5 (lampiran), dapat disimpulkan bahwa data dalam model regresi setelah dilakukan transformasi data dalam bentuk logaritma natural, terdistribusi secara normal unstandarized residual >0,05
2.2.2. Uji Multikolinearitas
Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF), apabila nilai VIF > 10 dan nilai tolerance < 0.1 maka terjadi multikolinearitas (Ghozali, 2005:92).
Dari data pada tabel 3 (lampiran), dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dengan dasar nilai VIF untuk setiap variabel independen tidak ada yang melebihi 10 dan nilai tolerance tidak ada yang kurang dari 0.1 , maka dapat dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan model regresi berganda.
2.2.3. Uji Autokorelasi
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi, dapat digunakan uji Durbin Watson. Hasil uji autokorelasi pada tabel 4 (lampiran), menunjukkan nilai statistik Durbin-Watson (DW) sebesar 2,105 , nilai ini akan dibandingkan dengan nilai tabel Durbin-Watson dengan menggunakan signifikansi 5%, jumlah sampel 66 (n) dan jumlah variabel independen 4 (k=4), maka di tabel Durbin-Watson didapat nilai batas atas (du) 1,7318 dan nilai batas bawah (dl) 1,4756 . Oleh karena itu, nilai DW berada diantara batas atas (DU) dan 4-DU (1.7318 < 2.105 < 2.2682), berarti tidak ada autokorelasi.
2.2.4. Uji Heteroskedatisitas
Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi ada tidaknya gejala heteroskedastisitas adalah dengan melihat plot grafik yang dihasilkan dari pengolahan data menggunakan program SPSS. Jika tidak ada pola tertentu, serta titik-titik yang menyebar tidak tertentu diatas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedatisitas atau terjadi homokedastisitas.
Dari grafik scatterplot (gambar 1, lampiran) terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik diatas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. Dengan demikian, model ini layak dipakai untuk memprediksi jumlah volume kredit pada perusahaan perbankan yang go public di Indonesia berdasarkan masukan variabel independen DPK, CAR, ROA dan NPL.
2.2.5. Uji Hipotesis
Untuk mengetahui apakah semua variabel independen dalam model regresi ini mempunyai pengaruh signifikan secara simultan atau tidak terhadap volume kredit dilakukan uji F (F test). Hasil F tabel yang diperoleh melalui perhitungan di Microsoft excel (FINV) adalah 2,534 .Dari tabel 5 (lampiran) dapat dilihat bahwa Fhitung > Ftabel (338,081>2,534) dan signifikansi <0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak . Hal ini berarti variabel DPK, CAR, ROA dan NPL secara simultan mempengaruhi volume kredit.
Untuk mengetahui apakah variabel independen dalam model regresi mempunyai pengaruh yang nyata atau signifikan terhadap variabel dependen, dilakukan pengujian dengan menggunakan uji t (T test). Hasil t tabel yang diperoleh melalui perhitungan di Microsoft excel (TINV) adalah 1,999 .Pada tabel 6 (lampiran) dapat dilihat bahwa variabel LN_DPK (X1) dan LN_ROA (X3) memiliki nilai t hitung > t tabel (28,885>1,999 dan 2,583>1,999) dengan signifikansi 0,000 dan 0,012 yang lebih kecil dari 0,05 artinya variabel DPK dan ROA berpengaruh signifikan secara parsial terhadap volume kredit. Sedangkan variabel LN_CAR (X2) dan LN_NPL (X4) memiliki nilai t hitung < t tabel (0,727<1,999 dan 1,706<1,999) dengan signifikansi 0,470 dan 0,093 yang lebih besar dari 0,05 artinya variabel CAR dan NPL tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap volume kredit.
2.2.6. Pembahasan hasil penelitian
Dari hasil pengujian variabel secara parsial, variabel dana pihak ketiga (DPK) dan ROA (return on asset) berpengaruh signifikan terhadap volume kredit sedangkan CAR (capital adequacy ratio) dan NPL (non performing loan) tidak berpengaruh signifikan terhadap volume kredit. Hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung dan t tabel serta signifikansi masing-masing variabel tersebut.
Dana pihak ketiga (DPK) dapat digunakan memprediksi volume kredit. Dari hasil uji statistik yang dilakukan, dana pihak ketiga memiliki pengaruh positif terhadap volume kredit. Hasil uji t , LN_DPK yang menunjukkan variabel dana pihak ketiga memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 artinya variabel dana pihak ketiga (DPK) secara parsial berpengaruh terhadap volume kredit. Hasil ini mendukung teori yang dikemukan oleh Warjiyo (2005:432) yang mengatakan bahwa dana yang dihimpun oleh perbankan dari masyarakat akan digunakan untuk pendanaan aktivitas sektor riil melalui penyaluran kredit dan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak seperti yang disebutkan dalan UU No.10 tahun 1998. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meydianawathi (2006) dan Harmanta dan Ekananda (2005) yang menunjukkan bahwa peningkatan dana pihak ketiga akan diikuti dengan peningkatan penyaluran volume kredit oleh perbankan.
CAR (Capital Adequacy Ratio) tidak dapat digunakan untuk memprediksi volume kredit karena dari hasil uji secara parsial menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel ini dengan volume kredit, dimana nilai signifikansi t sebesar 0,727 yang lebih besar dari 0,05 . Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sampel yang digunakan. Meskipun hasilnya tidak signifikan, bukan berarti bank dapat mengabaikan CAR dalam penyaluran kredit karena kecukupan modal bank sering terganggu karena penyaluran kredit yang berlebihan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meydianawathi (2006), yang menemukan bahwa capital adequacy ratio berpengaruh signifikan terhadap volume kredit.
ROA (Return on asset) dapat digunakan untuk memprediksi volume kredit. Hasil uji t , LN_ROA yang menunjukkan variabel return on asset memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,012 yang lebih kecil dari 0,05 artinya variabel return on asset (ROA) secara parsial berpengaruh terhadap volume kredit. Hasil ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Muliaman Hadad (2004:22) yang mengatakan return on asset yang tinggi menunjukkan bank telah menyalurkan kredit dan memperoleh pendapatan, sehingga diperkirakan return on asset dan volume kredit memiliki hubungan yang positif. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mahrinasari (2003) yang menunjukkan return on asset (ROA) mempunyai hubungan positif dengan volume kredit.
NPL (Non performing loan) tidak dapat digunakan untuk memprediksi volume kredit karena dari hasil uji secara parsial menunjukkan pengaruh negatif tetapi tidak signifikan antara variabel ini dengan volume kredit, dimana nilai signifikansi t sebesar 0,093 yang lebih besar dari 0,05 . Perbedaan ini kemungkinan disebabkan perbedaan sampel yang digunakan. Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan yang mengatakan kredit bermasalah berbanding terbalik dengan volume kredit. Namun hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meydianawathi (2006), yang menemukan NPL berpengaruh signifikan terhadap volume kredit. Hasil ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmanta dan Ekananda (2005).
Dari hasil pengujian secara bersama-sama, dapat disimpulkan bahwa dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, return on asset dan non performing loan berpengaruh signifikan terhadap volume kredit , yang ditunjukkan dengan nilai F hitung > F tabel dan nilai signifikansi 0,000 < 0,05. Nilai adjusted R square 0,937 mengindikasikan bahwa 93,7% variasi perubahan dalam volume kredit dapat dijelaskan oleh variabel dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, return on asset dan non performing loan. Sedangkan sisanya 6,3% dijelaskan oleh sebab-sebab lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Dengan demikian berarti kemampuan variabel independen dalam memprediksi variabel dependen tinggi.








BAB III
KESIMPULAN & SARAN

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:
A. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dana pihak ketiga (X1) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap volume kredit. Hal ini dapat dilihat dari t hitung > t tabel (28,885 > 1,999) dan nilai signifikan (0,000 > 0,05). Pengaruh positif dan signifikan dana pihak ketiga terhadap volume kredit sebesar 0,912 artinya setiap kenaikan dana pihak ketiga sebesar satu satuan (1%) akan diikuti kenaikan volume kredit sebesar 91,2% . Hal ini sesuai teori yang dikemukakan bahwa dana pihak ketiga akan mendukung penyaluran kredit oleh perbankan.
B. CAR (X2) memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap volume kredit. Besar t hitung < t tabel (0,727 < 1,999) dengan nilai signifikansi (0,470 > 0,05). Hal ini dapat dikatakan bahwa tidak setiap kenaikan volume kredit akan diikuti oleh kenaikan modal, dimana bank tetap dapat meningkatkan kredit selama peningkatan kredit tersebut tidak menjadikan modal bank di bawah ketetapan 8 % Bank Indonesia.
C. ROA (X3) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap volume kredit. Besar t hitung > t tabel (2,583 > 1,999) dengan nilai signifikansi (0,012 < 0,05). Setiap kenaikan return on asset 1% akan diikuti dengan kenaikan volume kredit sebesar 18,3% . Hal ini sesuai teori yang dikemukakan Muliaman Hadad (2004) yang memperkirakan return on asset dan kredit memiliki hubungan yang positif. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa jika penyaluran kredit bank meningkat maka hal ini juga akan meningkatkan pendapatan perbankan.
D. NPL (X4) memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap volume kredit. Besar t hitung > t tabel (1,706 < 1,999) dengan nilai signifikansi (0,093 > 0,05). Hal ini sesuai teori yang mengatakan kredit bermasalah berbanding terbalik dengan volume kredit. Meskipun tidak signifikan, namun bukan berarti bank dapat mengabaikan non performing loan ini, karena penambahan kredit tanpa disertai analisis yang baik dapat meningkatkan kredit bermasalah. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menemukan NPL berpengaruh signifikan.
E. variabel independen (dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, return on asset dan non performing loan) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (volume kredit). Kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen sebesar 93,7% sedangkan sisanya 6,3% dijelaskan variabel lain yang tidak diteliti.
5.2 Saran
A. Bagi manajemen bank agar tetap memperhatikan dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, return on asset dan non performing loan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya karena variabel ini akan mempengaruhi besarnya volume kredit yang disalurkan bank serta mengikutsertakan faktor internal lain seperti batas maksimum pemberian kredit dan faktor eksternal seperti peraturan moneter yang berlaku, suku bunga dan lain sebagainya.
B. Bagi peneliti lain agar menggunakan populasi yang lebih luas dan sampel yang lebih banyak serta periode pengamatan yang lebih lama sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat.
C. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut, sebaiknya menambahkan variabel lain seperti faktor eksternal sehingga diperoleh hasil yang lebih akurat lagi.

Sabtu, 07 November 2009

KASUS ETIKA BISNIS PERUSAHAAN

STUDI KASUS ETIKA PERUSAHAAN DAN PEMBAHASAN

Kasus manipulasi laporan keuangan


Manipulasi laporan keuangan PT KAI

Dalam kasus tersebut, terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi.


Skandal Enron, Worldcom dan perusahaan-perusahaan besar di AS

Worldcom terlibat rekayasa laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam pembukuannya Worldcom mengumumkan laba sebesar USD 3,8 milyar antara Januari 2001 dan Maret 2002. Hal itu bisa terjadi karena rekayasa akuntansi.


Penipuan ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap korporasi AS dan menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Dalam perkembangannya, Scott Sullifan (CFO) dituduh telah melakukan tindakan kriminal di bidang keuangan dengan kemungkinan hukuman 10 tahun penjara. Pada saat itu, para investor memilih untuk menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di bursa saham.


Kasus Product Recall

Kasus Tylenol Johnson & Johnson

Kasus penarikan Tylenol oleh Johnson & Johnson dapat dilihat sebagai bagian dari etika perusahaan yang menjunjung tinggi keselamatan konsumen di atas segalanga, termasuk keuntungan perusahaan. Johnson & Johnson segera mengambil tindakan intuk mengatasi masalahnya. Dengan bertindak cepat dan melindungi kepentingan konsumennya, berarti perusahaan telah menjaga trust- nya.


Kasus obat anti nyamuk Hit

Pada kasus Hit, meskipun perusahaan telah meminta maaf dan berjanji untuk menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker tersebut terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.


Kasus Baterai laptop Dell

Dell akhirnya memutuskan untuk menarik dan mengganti baterai laptop yang bermasalah dengan biaya USD 4,1 juta. Adanya video clip yang menggambarkan bagaimana sebuah note book Dell meledak yang telah beredar di internet membuat perusahaan harus bergerak cepat mengatasi masalah tersebut.


Dari ketiga kasus di atas, Hit merupakan contoh yang kurang baik dalam menangani masalahnya. Paradigma yang benar yaitu seharusnya perusahaan memperhatikan adanya hubungan sinergi antara etika dan laba. Di era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang harus dipertahankan. Dalam jangka panjang, apabila perusahaan meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan maka akan berbuah keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan.


Dugaan penggelapan pajak

IM3 diduga melakukan penggelapan pajak

dengan cara memanipulasi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai ( SPT Masa PPN) ke kantor pajak untuk tahun buku Desember 2001 dan Desember 2002. Jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, dapat direstitusi atau ditarik kembali. Karena itu, IM3 melakukan restitusi sebesar Rp 65,7 miliar.

750 penanam modal asing (PMA) terindikasi tidak membayar pajak dengan cara melaporkan rugi selama lima tahun terakhir secara berturut-turut. Dalam kasus ini terungkap bahwa pihak manajemen berkonspirasi dengan para pejabat tinggi negara dan otoritas terkait dalam melakukan penipuan akuntansi.


Manajemen juga melakukan konspirasi dengan auditor dari kantor akuntan publik dalam melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya dan korporasi, sehingga merugikan banyak pihak dan pemerintah. Kemungkinan telah terjadi mekanisme penyuapan (bribery) dalam kasus tersebut.


Pihak pemerintah dan DPR perlu segera membentuk tim auditor independen yang kompeten dan kredibel untuk melakukan audit investigatif atau audit forensik untuk membedah laporan keuangan dari 750 PMA yang tidak membayar pajak. Korporasi multinasional yang secara sengaja terbukti tidak memenuhi kewajiban ekonomi, hukum, dan sosialnya bisa dicabut izin operasinya dan dilarang beroperasi di negara berkembang.


4. Etika terhadap komunitas masyarakat
Tindakan Kejahatan Korporasi PT. Lapindo Brantas (Terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup di Sidoarjo, Jawa Timur)

Telah satu bulan lebih sejak terjadinya kebocoran gas di areal eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter.


Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga. tak kurang 10 pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, demikian juga dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas.


Perusahaan terkesan lebih mengutamakan penyelamatan asset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan social yang ditimbulkan. Namun Lapindo Brantas akhirnya sepakat untuk membayarkan tuntutan ganti rugi kepada warga korban banjir Lumpur Porong, Sidoarjo. Lapindo akan membayar Rp2,5 juta per meter persegi untuk tanah pekarangan beserta bangunan rumah, dan Rp120.000 per meter persegi untuk sawah yang terendam lumpur.


5.

Etika terhadap buruh dan pekerja

BenQ, Kasus Pailit Dalam Ekonomi Global

Merjer bisnis telepon genggam perusahaan BenQ dan Siemens menjadi BenQ-Mobile awalnya bagai angin harapan, terutama bagi para pekerja pabrik di Jerman. Namun karena penjualan tidak menunjang dan banyak produk yang dipulangkan oleh pembelinya karena bermasalah, akibatnya dua pabrik BenQ, di Meksiko dan Taiwan, terpaksa ditutup. Karena itu BenQ melakukan restrukturisasi dan mem-PHK sejumlah pekerja.Hal ini sangat merugikan pihak buruh dan karyawan. Para pekerja merasa hanya dijadikan bahan mainan perusahaan yang tidak serius.



1.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas kita tahu bahwa petilaku etis dan kepercayaan (trust) dapat mempengaruhi operasi perusahaan. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu:

1.

Berkaca dari beberapa contoh kasus di atas, kita dapat melihat etika dan bisnis sebagai dua hal yang berbeda. Memang, beretika dalam berbisnis tidak akan memberikan keuntungan dengan segera, karena itu para pelaku bisnis harus belajar untuk melihat prospek jangka panjang.
2.

Keunci utama kesuksesan bisnis adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
3.

Kemajuan teknologi informasi khususnya internet telah menambah kompleksitas kegiatan “public relation” dan “crisis management” perusahaan.
4.

Product recall dapat dilihat sebagai bagian dari etika perusahaan yang menjunjung tinggi keselamatan konsumen. Dalam jangka panjang, etika semacam itu justru akan menguntungkan perusahaan.
5.

Perilaku tidak etis khususnya yang berkaitan dengan skandal keuangan berimbas pada menurunnya aktivitas dan kepercayaan investor terhadap bursa saham dunia yang mengakibatkan jatuhnya harga-harga saham.
6.

Sanksi hukuman di Indonesia masih lemah jika dibandingkan dengan sanksi hukuman di AS. Di Amerika, pelaku tindakan criminal di bidang keuangan dikenai sanksi hukuman 10 tahun penjara sedangkan di Indonesia hanya diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek.

2.

Saran

Para pelaku bisnis dan profesi akuntansi harus mempertimbangkan standar etika demi kebaikan dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.

Sumber : http://insidewinme.blogspot.com/2007/12/kasus-etika-bisnis-perusahaan.html

Minggu, 11 Oktober 2009

Jasa Konsultasi Skripsi : Disyukuri atau Dikutuk ?

Jasa konsultasi skripsi tumbuh bak jamur. Semula jasa semacam itu diberikan secara perseorangan dan diam – diam antar teman. Layanan meningkat menjadi jasa pemrosesan data statistik dengan program komputer. Kemudian meningkat menjadi jasa menginterpretasi dan menuliskan hasil. Lama kelamaan, jasa meningkat sampai memilihkan judul, menyediakan data, bahkan sampai membuatkan secara penuh suatu skripsi. Kegiatan antar teman meningkat menjadi kegiatan professional yang berbentuk usaha yang mengiklankan dikoran local. Di internetpun tersedia sarana untuk membeli skripsi atau tesis. Pemiinat tinggal mengunjungi www.skripsiekonomi.com dan dapat membeli skripsi dengan judul apapun dengan harga sekitar Rp 750.000 perskripsi dan skripsi tadi diantar kerumah.
Peserta program S3 yang berduit konon membentuk tim sukses dari kalangan akademik untuk menyelesaikan disertasi dengan bayaran yang mendorong akademis melanggar integritas akademik. Program studi Magister Manajemen UGM pernah mengirim staffnya untuk pura – pura akan menggunakan jasa konsultan tersebut. Bisnis ini ternyata mempunyai perpustakaan berupa ratusan skripsi, tesis dan disertasi. Tidak diketahui bagaimana penyedian jasa ini memperolehnya. Jasa yang diberikan antara lain sekedar memfotokopi skripsi yang sesuai dengan topik sampai pembuatan skripsi tersebut (mengetikkan proposal, menyarankan jawaban atas pertanyaan bimbingan, merevisi sampai skripsi disetujui, menjilidkan, dan latihan ujian pendaftaran). Beberapa pemberi jasa memberi garansi DIJAMIN SAMPAI LULUS. Konon tarif untuk pembuatan skripsi berkisar antara Rp 1 sampai Rp 1,5 juta. Untuk tesis harga dapat mencapai Rp 2,5 juta. Pemberi jasa kebanyakan adalah lulusan S2 bahkan S3 perguruan tinggi terkenal. Salah satu pemberi jasa mengakui bahwa penghasilan sebulan kadang – kadang dapat mencapai lebih dari Rp 10 juta.
Ketika ditanya apakah jasa semacam itu tidak menimbulkan hal yang kurang baik dan etis dalam konteks pendidikan nasional dan tujuan penulisan skripsi, seorang pemberi jasa yang cukup professional mengatakan : “Nyatanya banyak yang datang ke saya dan tidak ada peraturan yang melarang. Juga, nyatanya banyak yang menyelenggarakan bisnis seperti ini. Ini berarti ada permintaan. Ada permintaan ada penawaran. Ini hukum ekonomi, jangan berfikir masalah etika atau hukum. Etika tidak ada tempatnya dalam dunia bisnis. What is legalis ethical. Semuanya sah – sah saja.”
Seorang pengguna jasa yang telah lulus sebagai seorang sarjana mengakui : “Saya memang menggunakan jasa konsultan karena mudah ditemui dan dihubungi. Konsultasinya juga enak dan lebih baik dari dosen pembimbing saya. Dosen saya sering tidak membaca proposal saya dan sulit ditemui. Dosen juga tidak membimbing dengan baik dan jelas sehingga saya bingun apa yang harus saya kerjakan dan dimana kekurangan skripsi saya. Setelah saya konsultasi dengan jasa pembimbing, saya mendapat pengarahan yang baik bahkan setengahnya dibuatkan saran – saran perbaikan. Saya juga belar banyak dari pemberi jasa. Setelah saya ajukan ke dosen pembimbing, ternyata dosen saya terkesan dan mengACC skripsi saya.”
Mahasiswa pengguna jasa yang nasih menyusun skripsi mengatakan : “Mengapa harus repot – repot nulis skripsi. Yang penting jadi dan lulus karena toh skripsi tidak dibutuhkan dalam pekerjaan. Katanya skripsi adalah karya ilmiah tapi di PT saya mahasiswa dilarang baca skripsi. Mahasiswa tidak boleh meminjam skripsi diperpustakaan tanpa ijin dosen pembimbing. PT lain malah banyak yang tidak mensyaratkan skripsi. Saya pikir syarat skripsi adalah mengada ada.”
Para dosen yang dimintai tanggapan mengenai hal ini menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai cara untuk mengecek apakah skripsi merupakan hasil pekerjaan menyontek atau hasil pembimbingan komersial. Pokoknya kalau mahasiswa dapat menjelaskan dengan baik apa yang ditulisnya para dosen sudah cukup puas dengan skripsi tersebut. “Saya sendiri tidak setuju adanya skripsi. Skripsi hanya membebani dosen. Yang realistik saja, saya tidak mungkin membimbing 10-15 mahasiswa dalam satu semester dan kalau tidak selesai dalam satu semester pekerjaan semakin menumpuk. Karena dipaksakan, akhirnya apapun yang diajukan mahasiswa saya setujui saja.”
Pihak Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi atau yang berwenang sekalipun masih bergeming mengenai hal ini. Mungkin fenomena ini masih dianggap wajar sehingga mereka tidak perlu gegabah menangaini masalah ini. Mereka tampaknya bersikap “wait and see.”



1. Siapa sajakah pihak yang berkepentingan atau stakeholders (pemegang pancang) dalam kasus di atas (baik eksplisit maupun implisit) ?
Jawab :
• Para pengguna jasa yang melakukan permintaan seperti mahasiswa, pejabat bahkan selebriti yang tidak mempunyai waktu tetapi ingin mengambil gelas sarjana dan lain sebagainya.
• Dosen – dosen yang menjadi pembimbing skripsi, tesis dan lain – lain.
• Pelaku jasa yang menjalankan usaha karena adanya permintaan.
• Direktur Jendral Pendidikan Tinggi yang menjadi pengawas dan pemerhati pendidikan.

2. Evaluasilah argument tiap pihak yang terlibat dari prinsip atau teori hak
(right), keadilan (justice), utilitarianisme (utilitarianism), egois (egoism), dan kelukaan (harm)!
Jawab :
•Teori hak (right)
Dalam hal ini mahasiswa memiliki hak untuk mendapatkan bimbingan dari dosen pembimbingnya hingga tugas skripsinya selesai.
• Keadilan (justice)
Direktur Jendral Pendidikan Tinggi juga tidak dapat mengambil tindakan apapun karena mungkin belum ada Undang – Undang yang mengatur tentang pelarangan sebuah jasa pembuatan skripsi atau tesis. Jelasnya peraturan mengenai bisnis - bisnis seperti ini harus segera dikeluarkan dan peraturan tersebut harus dapat memberikan keadilan yang sebagaimana mestinya.
• Utilitarianisme (utilitarianism)
Walaupun pemberi jasa dalam kasus ini mengatakan bisnis ini sah – sah saja akan tetapi dari segi Utilitarianisme bisnis ini tidak akan mendatangkan manfaat yang lebih bagi konsumennya, karena tujuan dari skripsi adalah memberikan pengetahuan, kemandirian dan pengalaman mahasiswa namun tujuan tersebut tidak tercapai karena adanya jasa kosultasi tersebut, sehingga jasa konsultasi tersebut justru mengurangi manfaat yang ada.
•Egois (egoism)
Pemberi jasa tidak memperdulikan apa dampak yang akan terjadi pada konsumen mereka maupun orang lain, mereka hanya menjalankan sesuai permintaan dan mendapatkan keuntungan yang cukup lumayan.
•Kelukaan (Harm)
Berdasarkan pernyataan diatas Dosen tidak mengetahui mahasiswa mana yang menggunakan jasa tersebut atau tidak, yang penting ia dapat menjelaskannya dengan baik hal ini tentunya sangat merugikan para mahasiswa yang berusaha mengerjakan skripsi dengan usahanya sendiri karena posisi mereka dalam pemberian nilai disama ratakan dengan mahasiswa yang menggunakan jasa tersebut.

3.Setujukah anda dengan pernyataan tiap pihak dalam kasus? Dapatkah tiap pihak dikatakan bersikap tidak etis?
Jawab :
• Saya tidak setuju dengan pernyataan dari mahasiswa yang menggunakan jasa tersebut dan dosen pembimbing pada kasus diatas, karena menurut saya dosen pembimbing dan mahasiswa pada kasus diatas tidak etis. Hal tersebut bisa dikatakan tidak etis karena etika adalah hal yang berkaitan dengan nilai – nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi lain. Dan jika kita lihat dalam kasus ini jelas bahwa, pembuatan skripsi yang seharusnya atau menurut aturan yang biasanya dilakukan adalah dikerjakan sendiri oleh mahasiswanya dan dosen pembimbing memang tugasnya membimbing mahasiswanya hingga mahasiswa tersebut selesai dalam pembuatan skripsinya.
• Selain itu pernyataan mahasiswa yang menyatakan bahawa skripsi tidak diperlukan di dunia kerja menurut saya itu tidak benar. Mungkin jika kita lihat sebagai syarat kerja tidak akan begitu berpengaruh, tetapi jika lihat dari sisi pengetahuan, dan pengalaman yang kita dapat, skripsi mempunyai manfaat yang sanngat penting bagi mahasiswa tersebut, karena salah satu tujuan skripsi adalah mempraktekkan apa yang yang telah kita pelajari selama ini dengan data – data dan keadaan yang rill atau benar – benar terjadi dimana yang selama ini kita pelajari mungkin hanya sebuah contoh kasus saja, sehingga hal ini akan membekali kita saat masuk ke dunia kerja nantinya.

4. Masalah etis apa saja yang ditimbulkan oleh adanya jasa konsultasi?
Jawab :
• Tugas skripsi yang menurut aturannya dikerjakan oleh mahasiswa itu sendiri tapi dikerjakan oleh orang lain membuat bisnis ini menjadi tidak etis sehingga dampak yang ditimbulkan dapat melemahkan kemandirian mahasiswa tersebut, pengetahuan mahasiswapun tidak akan berkembang.

5. Haruskah jasa bimbingan/konsultasi skripsi dilarang? Jelaskan argumen anda dari sudut pandang etika!
Jawab :
Menurut saya bisnis ini harus dilarang karena bisnis ini dapat merugikan mahasiswa yang mengerjakan skripsi tanpa menggunakan jasa konsultasi ini atau mengerjakannya sendiri, tentunya nilai yang diberikan tidak sebanding dengan pengorbanannya. Suatu bisnis dikatakan etis jika tidak menyimpang dari aturan - aturan atau kebiasaan – kebiasaan yang sudah ada. Bisnis ini memberikan jalan mudah dalam membuat skripsi dengan cara menjual skripsi yang telah jadi kepada para mahasiswa yang seharusnya mengerjakan skripsi dengan usahanya sendiri, tentu saja hal ini menyimpang dari aturan – aturan atau kebiasaan – kebiasaan yang sudah ada sehingga dapat merugikan orang – orang yang mengikuti kebiasaan – kebiasaan tersebut. Selain itu bisnis ini tidak mengarahkan kita kearah hidup yang lebih baik karena bisnis ini akan mengurangi kemandirian kita dan pengetahuan kita sehingga dampak ini akan lebih terasa saat kita sudah memasuki dunia kerja nanti.

6. Bagaimana pandangan anda terhadap prinsip etika bisnis “what is legal is ethichal” (asal tidak melanggar hukum ya etis)?
Jawab :
Saya tidak setuju terhadap prinsip tersebut.
Alasan :
Karena hukum dan etika itu berbeda, hukum adalah undang – undang atau peraturan yang mempunyai sanksi yang jelas, sedangkan etika adalah kebiasaan – kebiasaan tentang cara hidup yang baik, yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi lain yang tidak mempunyai sanksi yang jelas. Sehingga belum tentu suatu hal yang tidak melanggar hukum bisa dikatakan etis.

Sabtu, 10 Oktober 2009

STEALTH MARKETING: Permasalahan Etika Dalam Praktek Pemasaran Terkini

Kelas 4EA01

Disusun Oleh :
Muhamad Arief Pratama 10206635
Prabu Teguh Wibowo 10206727
Sigit Dwi Purnomo 10206914


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Persaingan di antara perusahaan untuk mendapatkan pelanggan bukan merupakan hal yang aneh lagi. Perusahaan giat melakukan banyak kegiatan pemasaran, beberapa praktisi pemasaran memperkirakan bahwa konsumen disuguhi kurang lebih dari 1000 buah iklan setiap harinya (Marsden, 2006 dan Shenk, 1998). Di Indonesia sendiri, menurut penelitian dari lembaga ACNielsen tingkat kepadatan iklan televisi mencapai angka kurang lebih 1000 buah iklan per minggu. Rata-rata orang dewasa Indonesia menonton iklan televisi sebanyak 850 buah iklan per minggu, sedangkan ibu-ibu rumah tangga menonton iklan lebih banyak lagi yakni 1200 buah iklan per minggu (Kuswati, 2007).
Tingginya tingkat kepadatan iklan (televisi) dan banyaknya jumlah iklan yang ditonton oleh masyarakat menjadikan iklan sebagai salah satu alat pemasaran yang dapat memiliki pengaruh pada masyarakat. Iklan dapat memberikan pengaruh positif jika iklan tersebut bersifat mendidik dan sebaliknya dapat memberikan pengaruh negatif jika tidak mendidik. Bersifat mendidik dalam artian iklan tersebut tidak memberikan informasi yang terlalu berlebihan, dan menyesatkan dalam membujuk konsumen.
Terdapat beberapa iklan yang diberikan kepada konsumen bersifat tidak mendidik. Hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi pelanggan, karena dapat menciptakan mind-set yang cenderung tidak masuk akal (logika) bagi konsumen dan merusak moral masyarakat. Di samping itu iklan yang bersifat tidak mendidik, juga memiliki arti iklan tersebut tidak memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen, sehingga konsumen seringkali dibodohi. Salah satu bentuk pemasaran yang kemungkinan dapat menciptakan konsumen yang tidak terdidik adalah stealth marketing. Oleh karena itu, kami tertarik untuk membahas tentang stealth marketing yang ditulis oleh Henky Lisan Suwarno dan Bram Hadianto Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Indonesia
. Pembahasan yang dilakukan berupa penjelasan secara lebih dalam mengenai konsep dari stealth marketing dan permasalahan etika yang dapat dimunculkannya.

BAB II
PEMBAHASAN

Stealth marketing didefinisikan sebagai penggunaan praktek-praktek pemasaran yang tidak menunjukkan hubungan yang sebenarnya dengan perusahaan-perusahaan yangmensponsorinya (Martin dan Smith, 2008). Stealth marketing kadang dimaksudkan untuk menciptakan word of mouth positif, atau “buzz” dari sebuah produk, oleh karena itu tidak heran kalau stealth marketing ini juga memiliki keterkaitan dengan “buzz marketing” atau “word of mouth marketing.” Secara khusus, Word of Mouth Marketing Association (2007) mendefinisikan buzz marketing sebagai “memberikan sebuah alasan kepada orang untuk berbicara tentang produk atau jasa anda, dan membuat hal tersebut lebih mudah untuk berbicara.
”Dalam pemasaran konvensional, terdapat tiga informasi antara lain product knowledge, persuasion knowledge dan agent knowledge (Martin dan Smith, 2008). Product knowledge artinya dalam komunikasi pemasaran terdapat informasi mengenai produk yang dipasarkan, misalnya fitur-fitur yang terdapat dalam produk. Persuasian knowledge artinya dalam komunikasi pemasaran terdapat unsur membujuk terhadap konsumen secara terangterangan. Agent knowledge artinya terdapat agen pemasaran yang membujuk konsumen secara terang-terangan. Secara terang-terangan artinya orang yang melihat dan mendengar sebuah komunikasi pemasaran mengetahui perusahaan mana yang mensponsorinya.
Dalam stealth marketing, tiga informasi di atas tidak diperlihatkan secara terang-terangan. Stealth marketing dipertimbangkan dapat menjadi alternatif yang baik dari pemasaran konvensional karena dipersepsikan sebagai pemasaran yang lebih halus dan lebih pribadi daripada pemasaran tradisional. Oleh karena itu stealth marketing dapat menjadi teknik pemasaran yang dapat bertahan lama. Pada dasarnya, stealth marketing berupaya untuk menyajikan sebuah produk atau jasa baru dengan menciptakan “buzz” dalam sebuah cara yang tersembunyi. Stealth marketing menyajikan produk dengan fitur-fitur menarik yang dapat membuat orang yang melihatnya terkesan dengan produk yang ditawarkan. Tujuan utama dari pemasaran seperti ini adalah mendapatkan orang yang tepat untuk dapat memasarkan produk atau jasa tanpa terlihat disponsori oleh perusahaan. Esensinya, pemasaran seperti ini menciptakan sebuah kondisi word-of-mouth yang positif, sehingga akan memunculkan konsumen-konsumen yang dapat memasarkan produk secara spontan. Pada akhirnya, pesan yang dimunculkan dalam komunikasi pemasaran tersebut dapat tersebar mulai dari trendsetter kepada para konsumen.
Pesan dari komunikasi pemasaran tersebut dapat disampaikan dalam beberapa cara: secara fisik (selebritis atau trendsetters mungkin terlihat dengan merek yang dipasarkannya), secara verbal (orang-orang mungkin membicarakan merek dalam percakapan secara on-air maupun off-air), secara virtual (pesan dapat disebarkan melalui internet chatrooms, newsgroup, atau weblogs). Jika konsumen suka pada produk atau jasa baru tersebut, mereka akan mengatakannya kepada teman-teman dan kolega, sehingga tidak menutup kemungkinan pesan tersebut akan tersebar luas. Dengan menghubungkan produk dengan gaya hidup penerima pesan, stealth marketing memasarkan produk dan jasa dengan cara yang paling halus dibanding yang lain.
Pendapat lain mengenai stealth marketing adalah dikemukakan oleh Kafi Kurnia, praktisi pemasaran yang menulis buku “Anti-Marketing”. Stealth marketing menurutnya dikatakan sebagai pemasaran antiradar, karena konsumen tidak mengetahui kalau dirinya merupakan obyek pemasaran. Strategi ini memang bisa dibilang nakal karena memiliki nuansa memperdaya konsumen. Contoh klasiknya adalah trik London Cake Creative Consultancy di Newcastle. Mereka membuang kemasan kosong produk minumannya, Kratingdaeng di berbagai tong sampah dekat bar dan pub di sekitar kota untuk menimbulkan kesan seolah produknya amat digandrungi.
Menurut Kafi, salah seorang rekannya di Indonesia sudah meniru cara ini ketika membuka restoran baru. Di pekan awal pembukaan restoran, ia meminjam mobil teman sebanyak-banyaknya untuk diparkir di depan restorannya sehingga memancing orang penasaran dan mampir mencicipi hidangannya. Teknik sederhana itu ternyata memang tulen sakti. Orang yang lewat dibuat penasaran dan akhirnya ikut berhenti, serta mencoba restorannya. Trik ini berhasil membuat restorannya laris tanpa harus mengeluarkan biaya iklan sepeser pun.
Pemasaran antiradar juga sering dilakukan para agen dan distributor mobil. Caranya, mereka membanjiri jalan-jalan utama ibu kota dengan mobil-mobil yang baru saja diluncurkan. Lagi-lagi motivasinya untuk menggelitik dan merangsang rasa penasaran. Konsumen menjadi terpikat, karena seringnya melihat mobil-mobil baru itu di jalan. Cara itu pula yang ditempuh Toyota dengan merek Scion, yang diluncurkan 9 Juni lalu di California. Karena tahu sekarang ini mereka yang berumur 18-25 tahun tengah merancang sebuah generasi internet diperkirakan pada 2010 ada 60 juta warga di Amerika yang familier dengan internet Scion pun mengarahkan pemasarannya ke sana.
Para dealer sengaja memarkir Scion di depan toko-toko musik di California. Menawari para calon langganan untuk mencoba mobil baru Scion, sambil memberikan suvenir cuma-Cuma seperti CD musik. Mobil-mobil Scion juga diparkir di lapangan parkir gedung-gedung konser musik, untuk pamer. Scion tidak lagi diiklankan lewat TV, karena pemasar antiradar kebanyakan antiiklanTV. Brosur-brosur Scion hanya disebarkan lewat majalah-majalah gaya hidup generasi internet. Tujuannya, agar Scion tidak menjadi asal merek kebanyakan, melainkan sebuah merek yang berinteraksi dengan generasi internet, sehingga diakui dan diadopsi oleh generasi internet sebagai merek yang mencirikan kepribadian mereka.
Scion saat ini tengah mendapat perhatian dan menjadi buah bibir berkat pemasaran antiradar mereka yang cukup kontroversial. Pemasaran antiradar atau stealth marketing menjadi trend baru. Berkat pendekatannya yang artistik. Yaitu bukannya berteriak kencang, melainkan cukup berbisik dan melirik. Tapi, kadang bisikan jauh lebih dahsyat dari suara berisik. Berbisik bisa lebih intim. Suaranya mungkin jauh lebih perlahan, tapi kalau langsung masuk kuping, dan menyentuh pancaindra kita, intensitasnya terasa jauh lebih nyaring. (www.Gatra.com dan www.jakartaconsultinggroup.com)
Pertumbuhan Kepopuleran Stealth Marketing
Pertumbuhan kepopuleran stealth marketing didorong oleh tiga faktor yang ikut berkontribusi dalam mengurangi efektivitas dari iklan televisi dan teknik-teknik periklanan lainnya (Kaikati M.A dan Kaikati G.J, 2004).

1. Tumbuhnya kritik terhadap industri periklanan secara umum
Terdapat dua buku yang berisi tentang kritik terhadap industri periklanan yang dipublikasikan pada tahun 2002. Sergio Zyman memiliki argumen bahwa waktu 30 detik dari iklan di televisi tidak cukup untuk membangun awareness (perhatian) dari penonton, oleh karena itu industri periklanan harus memikirkan ulang cara pemasaran seperti itu. Al dan Laura Ries juga memiliki argument bahwa Public Relation (PR) seharusnya terlebih dahulu dilakukan untuk memasarkan produk inovasi baru, dan kemudian diikuti oleh iklan.
Efektivitas biaya periklanan menjadi penyebab mengapa mereka memberi rekomendasi kepada kita untuk melakukan teknikteknik pemasaran non-tradisional. Al dan Laura Ries memberikan contoh tentang keberhasilan dari perusahaan Botox dalam memanfaatkan PR. Dia berpendapat bahwa Botox telah memiliki omset sebesar $300 juta tanpa melakukan periklanan. Krispy Kreme juga menjadi perusahaan favorit di Amerika dengan sedikit melakukan periklanan yang tradisional.

2. Pendengar iklan semakin banyak terbagi-bagi
Faktor kedua yang membuat iklan tidak efektif lagi adalah bahwa pemasar menemukan bahwa saat ini untuk mengejar dan menangkap pelanggan potensial lebih sulit karena pendengar semakin banyak terbagi-bagi. Oleh karena semakin banyaknya jumlah stasiun televisi, jumlah stasion pemancar radio, dan media komunikasi lainnya, maka pendengar dibagi-bagi ke dalam kelompok yang lebih kecil. Sehingga hal tersebut membuat pemasar lebih sulit dan tentunya lebih mahal untuk menjangkau satu pendengar dari satu ukuran tertentu. Sebagai contoh, di 200 saluran TV, program perorangan memiliki penonton yang lebih sedikit dibandingkan masa lalu. Fakta penelitian terbaru mengungkapkan bahwa semakin banyak generasi muda yang kurang suka menonton televisi, karena mereka cenderung lebih menyukai bermain video game. Penelitian yang dilakukan oleh AC Nielsen pada tahun 2003 menunjukkan bahwa pemuda usia antara tahun 18 dan 34 yang menonton televisi berkurang jumlahnya sekitar 7.7% dibandingkan satu tahun sebelumnya.

3. Munculnya Personal Televise Recorders (PVRs) atau Digital Video Recorders (DVRs)
Fitur yang paling mengganggu dari alat ini adalah kemampuannya untuk tidak menayangkan (skip or eliminate) iklan yang tidak dikehendaki oleh konsumen, caranya adalah dengan memencet (klik) satu tombol di remote control jika muncul iklan yang tidak mereka kehendaki. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika terdapat beberapa penelitian yang menemukan bahwa untuk mencapai 80% dari konsumen wanita usia 18 sampai 49 tahun, terdapat peningkatan jumlah iklan dari 3 iklan di tahun 1995 sampai 97 di tahun 2000.
Penelitian lain yang ditujukan kepada 112 eksekutif pemasaran dari Asosiasi Periklanan Amerika, menunjukkan bahwa 76% dari responden mengatakan akan mengurangi pembelanjaan iklan ketika PVRs menjangkau 30 juta rumah. Frustasi dengan beberapa kelemahan dari teknik pemasaran yang tradisional, dan munculnya beberapa alat yang dapat membantu penonton untuk tidak menayangkan iklan membuat pemasar perlu memikirkan cara baru dalam menyampaikan komunikasi pemasarannya. Lebih spesifik, mereka harus memikirkan bagaimana caranya menciptakan pesan yang halus sehingga sulit bagi konsumen untuk menolaknya.

Tipe-tipe teknik stealth marketing
Ada beberapa teknik pemasaran yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan kompetitif. Enam teknik stealth marketing tersebut adalah: viral marketing; brand pushers; celebrity marketing; bait-and-tease marketing; marketing in video games; and marketing in pop and rap music. Teknik stealth marketing yang berhasil adalah ketika konsumen tidak merasa sadar bahwa ada kesan komersial dibaliknya (Kaikati M.A dan Kaikati G.J, 2004).

1. Viral Marketing
Istilah "viral marketing" diperkenalkan oleh Steve Jurvetson (seorang penanam modal) pada 1996 ketika dia mendeskripsikan strategi pemasaran dari e-mail gratis Hotmail dengan mengirimkan pesan "Get your private, free e-mail from Hotmail at http://www.hotmail.com" bersamaan dengan rekomendasi secara implisit dari si pengirim tentang suatu produk.
Dengan demikian, stealth marketing dalam bentuk viral marketing merupakan "word of mouth" melalui suatu media digital. Pemasaran jenis ini melibatkan penyebaran pesan melalui "word of mouse" dan memastikan bahwa penerima punya daya tarik terhadap pesan tersebut. Setelah mereka tertarik dengan pesan tersebut, diharapkan mereka dapat merekomendasikannya kepada temannya. Mendapat satu rekomendasi pribadi melalui e-mail dari seseorang yang anda ketahui adalah betul-betul lebih terpercaya dibandingkan satu e-mail tanpa nama.
Salah satu contoh dari viral marketing adalah weblogs, atau yang lazimnya dikenal dengan sebutan blogs. Blogs adalah buku harian seperti web sites pribadi dan tempat orang-orang berkomunikasi yang sudah menjadi trend saat-saat ini, khususnya bagi pengguna berusia muda. Tidak seperti halaman web site pribadi lainnya, blogs merupakan buku harian yang sering ditulis oleh para generasi muda yang menjadi trendsetter. Mereka biasanya menulis beberapa pendapat, seperti testimonial dan melakukan update secara teratur. Mereka biasanya berkomentar seputar dasar pemikiran dari pilihan-pilihan mereka terhadap isu-isu yang sedang dibicarakan, kemudian membangun sebuah percakapan yang interaktif.
Mereka juga membangun sebuah link dengan halaman web site dan blogs lainnya yang berisi berbagai macam topik bahasan mulai dari teknologi, media, dan hiburan sampai politik, ekonomi, dan budaya. Pemanfaatan blogs untuk kegiatan pemasaran dilakukan oleh perusahaan Dr. Pepper, sebuah perusahaan yang memproduksi soft-drink. Untuk menarik calon pelanggannya, Dr. Pepper membangun sebuah blogs yang dapat memasarkan produknya secara sembunyisembunyi. Dr. Pepper juga merekrut sejumlah anak muda untuk menjadi bloggers, yang berusia remaja sampai usia 20 tahunan. Sejumlah remaja tersebut terlebih dahulu diminta untuk mengikuti masa orientasi, dengan tujuan supaya mengetahui upaya pemasaran Dr. Pepper melalui blogs, yang diisi dengan pendapat bloggers tentang antusiasme mereka terhadap produk tanpa diketahui banyak orang kalau mereka adalah para pemasar dari Dr. Pepper.

2. Brand Pushers
Brand pushers adalah teknik stealth marketing dengan merekrut aktor dan aktris baru untuk menjangkau calon pelanggan secara pribadi dalam kehidupan sehari-hari dengan memasukkan pesan komersial secara implisit. Para aktor dan aktris yang dipilih ini harus yang memiliki kepribadian yang pandai merangkul orang dan menarik. Tujuan utama dari brand pushers ini adalah untuk menampilkan suatu perilaku yang baik dan menampilkan keunggulan suatu merek produk tanpa diketahui oleh orang lain.
Salah satu contoh perusahaan yang melakukan teknik stealth marketing berupa brand pushers ini adalah Sony Ericsson. Dalam memasarkan produk terbarunya, yaitu kombinasi antara telepon selular dan kamera digital mereka melakukan brand pushers. Mereka merekrut aktor dan aktris baru yang berjumlah 60 orang, mereka melakukan acting seolah-olah sebagai pasangan turis yang sedang melakukan liburan. Cara yang dilakukannya adalah mereka meminta orang lain untuk mengambil gambar mereka dengan menggunakan telepon seluler baru Sony Ericsson tipe T68i, telepon seluler yang dilengkapi dengan fasilitas kamera.
Tujuan dari teknik pemasaran seperti ini adalah untuk melakukan intrik supaya orang lain tersebut mengetahui dengan sendirinya produk high-tech terbaru yang dimiliki Sony Ericson dan membiarkan mereka memiliki pengalaman sendiri dengan fitur-fitur yang ada di telepon seluler tersebut. Dengan cara seperti ini, maka calon konsumen menerima pesan pemasaran dari perusahaan bukan melalui iklan seperti biasanya, tetapi melalui demonstrasi langsung mengenai fitur-fitur produk di dalamnya. Sehingga hal seperti ini terlihat lebih efektif, karena konsumen memiliki pengalaman sendiri dengan produk.

3. Celebrity Marketing
Teknik stealth marketing seperti ini dilakukan dengan merekrut seorang selibritis untuk memasarkan produk perusahaan. Perusahaan mengharapkan ketenaran dari selebritis tersebut untuk mempengaruhi calon konsumen agar mau membeli produk yang dipasarkan.
Contoh kasus dari celebrity marketing ini adalah yang terjadi dalam industri kesehatan. Pada bulan Maret 2002, ketika Lauran Bacall (selebritis di Amerika) di wawancara oleh Matt Lauer, pembawa acara Today Show, dia menyebutkan bahwa salah seorang temannya mengalami sakit mata sebelah yang disebut macular degeneration. Lalu Bacall menyebutkan sebuah obat baru, Visudyne, yang dapat mengobati penyakit tersebut.
Pada bulan Juli 2002, penyanyi rock tahun 70 sampai 80-an, direkrrut oleh perusahaan pembuat alat penurun berat badan, yaitu Lap-Band. Wilson muncul dalam acara di CBS yaitu The Early Show untuk memasarkan alat tersebut. Selanjutnya pada bulan Agustus 2002, aktris Kathleen Turner muncul dalam acara Good Morning America di ABC dan CNN untuk berdiskusi tentang perjuangannya mengobati penyakit rheumatoid arthritis, yang menarik, ketika dia tidak menyebutkan secara khusus nama sebuah perusahaan atau merek, dia merekomendasikan kepada para penonton untuk mengunjungi halaman web yang disponsori oleh Amgen Inc. and Wyeth, yang memproduksi Enbrel, sebuah obat yang dapat mengobati penyakit yang dideritanya.

4. Bait and Tease Marketing
Contoh kasus dari Bait and Tease Marketing ini adalah yang dilakukan oleh BMW. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa pembeli mobil BMW adalah orang-orang yang jarang menonton TV, mereka lebih sering mencari informasi dan melakukan transaksi melalui internet. Untuk menjangkau pembeli seperti ini, maka BMW membuat film pendek tentang mobil produksinya, yang hanya bisa dilihat di halaman website, mereka membuat film yang berdurasi antara 5 sampai 7 menit yang terdapat dalam halaman website bmwfilms.com. Dengan cara yang seperti ini pesan iklan yang disampaikan oleh BMW tidak akan dapat dihindari oleh konsumen, karena disebarkan dengan jalan yang agak sedikit memaksa (compelling way), di mana informasi tentang produk hanya tersedia di halaman website.

5. Marketing in Video Games
Pemasaran yang dilakukan melalui video games ini dalam bentuk memasukkan logo perusahaan dalam permainan. Teknik pemasaran seperti ini berbeda dengan pemasaran melalui media televise maupun film. Jika pemasaran melalui media televisi dan film, pesan diterima secara pasif oleh penerima, sedangkan dalam pemasaran melalui video games, penerima pesan lebih aktif karena lebih berinteraksi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pemasaran melalui video games ini pesan yang ingin disampaikan lebih sering dimunculkan.
Salah satu contoh kasus dalam pemasaran melalui media video games ini adalah komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh McDonald’s dan Intel pada games The Sims Online yang diproduksi oleh Elecronic Arts. The Sims Online adalah sebuah game mengenai kehidupan sehari-hari, di mana gamers dapat mengontrol karakter virtual beberapa orang mengenai kehidupan mereka, game ini merupakan versi internetnya (online). Dalam game tersebut para pemain dapat mengoperasikan sebuah komputer yang berlogo Intel dan dapat membeli sebuah makanan di kios McDonald.

6. Marketing in Pop and Rap Music
Teknik pemasaran seperti ini dilakukan dengan memasukkan pesan komersial dalam lagu-lagu yang berirama pop dan rap. Musik rop dan rap telah memiliki hubungan yang dekat dengan komunitas perusahaan. Sebagai contoh, grup musik Four Seasons dan Supremes pernah menyanyikan jingle Coca-cola di pertengahan tahun 60-an. Selain itu, pada tahun 1986, Run D.M.C dibayar oleh Adidas setelah mereka mempromosikan produk adidas dengan menyanyikan lagu yang berujudul “My Adidas”. Pada awalnya pujian terhadap merek yang sudah ada ikut muncul dalam gaya hidup seseorang yang mencintai musik.
Merek menjadi bagian dalam lagu-lagu rap karena pilihan dari artis tersebut terhadap merek yang mereka sukai. Hal ini terbukti ketika artis tersebut menyanyikan lagu rap yang bercerita tentang kehidupannya, mereka juga menceritakan merek yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Situasi yang ada sekarang saat berubah, beberapa perusahaan lebih bersikap proaktif untuk mencantumkan merek mereka dalam sebuah lagu. Sebagai contoh, Jay-Z menerima tawaran Motorola untuk mempromosikan produk dari Motorola melalui lagu yang dinyanyikannya. Motorola mengklaim bahwa penjualan produk mereka meningkat secara drastic setelah Jay-Z menyebutkan salah satu produk Motorola dalam albumnya.
Contoh yang terdapat di Indonesia adalah apa yang sudah dilakukan oleh KFC. Mereka mensponsori pembuatan album rekaman dari grup band musik “Republik”, padahal mereka bukan perusahaan rekaman. Dalam cd kaset maupun album yang dirilis oleh Republik, terdapat logo KFC di dalamnya.

Permasalahan Etika Dalam Stealth Marketing
Teori-teori etika normatif banyak berbicara mengenai consequentialist dan nonconsequentialist (Hunt dan Vitell, 1993; Kimmel dan Smith, 2001). Teori consequentialist mempertimbangkan seluruh konsekuensi yang akan muncul sebagai dasar untuk membuat penilaian terhadap permasalahan etika. Sedangkan, teori nonconsequentialist fokus pada pertanyaan apakah suatu tindakan itu dapat dikatakan etis atau tidak.
Teori nonconsequentialist ini mempertimbangkan kriteria-kriteria lain selain konsekuensi dalam menilai suatu permasalahan etika, misalnya dari sudut pandang kerohanian ataupun dari sudut pandang moral. Oleh karena itu, dalam menilai suatu permasalahan etika stealth marketing, perlu mempertimbangkan penilaian dari perspektif konsekuensi, yaitu dengan mempertimbangkan seluruh konsekuensi yang akan muncul dari sebuah tindakan dan dari perspektif nonkonsekuensi, yaitu dengan menggunakan penilaian dari sudut pandang kerohanian dan moral. Sebagai contoh, Laczniak dan Murphy (1993) dan Dunfee, et.al (1999) menunjukkan beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian mengenai permasalahan etika, seperti “Apakah tindakan yang dilakukan bertentangan dengan moral yang diterima secara umum? (nonconsequentialist theory),” dan “Apakah tindakan tersebut dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi orang maupun organisasi? (consequentialist theory).”
Salah satu pedoman menilai permasalahan etika dalam praktek pemasaran adalah American Marketing Associations’s (AMA’s) Statement of Ethic (Martin dan Smith, 2008). Secara spesifik, contoh dari nilai-nilai etis yang terdapat dalam AMA’s Statement of Ethic tersebut antara lain honesty, fairness, dan openness. Honesty berbicara tentang “kejujuran dalam berhubungan dengan para pelanggan dan stakeholder.” Hal ini menghendaki bahwa dalam memasarkan produknya, para pemasar menceritakan kebenaran dalam setiap situasi dan waktu. Fairness berbicara tentang “mencoba untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembeli dengan kepentingan penjual.” Hal ini menghendaki bahwa dalam menjual dan mengiklankan produknya, para pemasar melakukannya dengan cara yang jelas, termasuk menghindari promosi yang bohong, menyesatkan dan menipu.
Terakhir, openness berbicara tentang “menciptakan keterbukaan dalam praktek-praktek pemasaran.” Hal ini menghendaki bahwa para pemasar berusaha untuk melakukan komunikasi pemasaran secara jelas atau tidak sembunyi-sembunyi kepada seluruh masyarakat. Dalam menganalisis permasalahan etika stealth marketing penulis menggunakan hal-hal seperti deception, intrusion dan exploitation (Martin dan Smith, 2008). Berikut ini adalah analisis yang penulis lakukan.

1. Deception
Deception adalah kecenderungan untuk menipu orang. Hal ini merupakan permasalahan etika, bukan hanya karena tindakannya yang menipu itu sendiri tetapi juga karena konsekuensi yang akan muncul dari tindakan menipu tersebut. Berbohong merupakan suatu kecenderungan untuk menipu. Deception ini termasuk permasalahan etika karena bertentangan dengan ajaran kerohanian dan juga tata nilai moral yang ada di masyarakat. Deception menunjukkan kondisi yang tidak sebenarnya dari suatu keadaan, atau lebih lazim dikatakan sebagai tindakan tipu muslihat. Kondisi seperti ini dapat kita lihat dalam praktek stealth marketing.
Contoh yang nampak adalah pada kasus viral marketing, secara khusus pada testimonial yang disampaikan pada suatu halaman website atau biasa disebut sebagai blog. Kasus di perusahaan Dr. Pepper menunjukkan bahwa terdapat unsur deception dalam pelaksanaan praktek komunikasi pemasarannya. Dalam upaya komunikasi pemasarannya melalui blog mereka merekrut sejumlah remaja. Oleh perusahaan sejumlah remaja ini diminta atau lebih tepatnya disuruh untuk memberikan testimoni mengenai keunggulan produk atau pengalaman mereka mengenai manfaat dari produk perusahaan, seolah-olah mereka sudah pernah menggunakan produk perusahaan.
Hal seperti ini merupakan permasalahan etika karena terdapat unsur deception, mereka melakukan tipu muslihat atau menipu orang-orang yang membaca testimonial dengan menceritakan hal-hal positif dari produk perusahaan. Orang-orang yang membaca testimonial dipengaruhi sedemikian rupa sehingga mereka percaya akan adanya keunggulan produk yang diceritakan, karena mereka menganggap bahwa sejumlah remaja tersebut memiliki pengalaman menggunakan produk, padahal mereka tidak pernah menggunakan produk dari perusahaan.
Contoh lain adalah yang dilakukan oleh Sony Ericson, dalam memasarkan produk terbarunya yaitu handphone berkamera mereka merekrut sejumlah pria dan wanita untuk berperan seolah-olah sebagai pasangan turis. Hal ini termasuk tindakan deception, pertama karena sejumlah pria dan wanita tersebut bisa jadi ada yang bukan merupakan pasangan, kedua mereka bukanlah turis seperti yang yang dilakonkan. Jadi, kedua contoh di atas merupakan praktek komunikasi pemasaran yang tidak etis karena terdapat unsur deception di dalamnya. Pertama, karena mereka melakukan tipu muslihat atau menipu orang. Kedua, karena perusahaan mengajak pemasarnya untuk melakukan kebohongan.


2. Intrusion
Intrusion menggambarkan suatu pelanggaran terhadap privasi atau kebebasan pribadi seseorang. Dalam stealth marketing terdapat permasalahan etika karena dalam prakteknya melanggar privasi atau kebebasan pribadi seseorang.
Contoh yang nampak adalah dalam kasus SonyEricson, the fake tourists atau turis-turis gadungan yang dibayar perusahaan mengganggu privasi turis lain karena menyita waktu mereka yang sedang melakukan rekreasi, dengan melakukan pemasaran secara tersembunyi (stealth marketing). Mereka meminta turis lain untuk mengambil gambar mereka dengan handphone berkamera, yang tujuannya adalah agar turis yang dimintai bantuan tersebut tertarik dengan fitur-fitur yang terdapat dalam handphone yang baru dikeluarkan SonyEricson tersebut.
Contoh lain adalah yang dilakukan oleh perusahaan Dr. Pepper. Mereka melanggar privasi seseorang, karena mereka mengatur kebebasan berpendapat sejumlah remaja yang mereka rekrut. Sejumlah remaja tersebut “dipaksa” untuk mengeluarkan pendapat yang positif saja tentang produk perusahaan, padahal belum tentu mereka setuju dengannya. Stealth marketing yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dalam bentuk marketing in music juga mengandung unsur intrusion, karena mereka melanggar kebebasan berekspresi seseorang dalam menciptakan atau menyanyikan lagu.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dalam marketing in music ini perusahaan meminta agar nama perusahaan atau produk mereka dimasukkan dalam lirik lagu yang akan diciptakan atau dinyanyikan penyanyi (grup band). Hal ini merupakan indikasi bahwa terdapat intervensi terhadap kebebasan pribadi seseorang berekspresi dalam lagu.

3. Exploitation
Exploitation dalam hal ini menggambarkan pemanfaatan sifat baik seseorang untuk memasarkan produk. Dalam stealth marketing terdapat permasalahan etika karena di dalamnya terdapat unsur exploitation. Contoh kasus yang terdapat dalam perusahaan Sony Ericson menggambarkan unsur exploitation di dalamnya. Mereka memanfaatkan sifat baik dari turis asli dalam melakukan komunikasi pemasarannya. Turis palsu (the fake tourist) meminta turis asli (the genuine tourist) untuk mengambil gambar mereka dengan menggunakan handphone Sony Ericson berkamera. Para turis asli tersebut merespon dengan baik permintaan turis palsu. Sifat baik dari turis asli tersebutlah yang dimanfaatkan Sony Ericson dalam memasarkan produknya.
Kasus dari perusahaan Dr. Pepper juga mengandung unsur exploitation di dalamnya. Kebaikan sifat dari seseorang untuk membantu sesamanya dalam memberikan informasi mengenai produk dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat komersial atau dengan kata lain interaksi sosial antar orang yang menunjukkan sifat saling membantu dimanfaatkan. Kasus stealth marketing seperti ini tidak etis karena pertama terdapat pemanfaatan sifat baik manusia, dan kedua praktek pemasaran seperti ini lambat laun pasti akan merusak keaslian dari interaksi sosial yang baik antar manusia karena dicampuri oleh hal yang bersifat komersial atau didasari profit-oriented.

BAB III
KESIMPULAN & SARAN

3.1 Kesimpulan
Tidak efektifnya pemasaran tradisional seperti iklan di televisi, radio atau media lainnya membuat perusahaan melaksanakan praktek pemasaran yang lain. Para pemasar melakukan praktek pemasaran yang di luar (outside the box) dari praktek pemasaran seperti biasanya dalam membujuk konsumen. Salah satu yang dilakukan adalah stealth marketing yaitu pemasaran yang dilakukan secara tersembunyi, artinya konsumen tidak tahu dan sadar kalau mereka sedang dibujuk oleh pemasar untuk memiliki minat terhadap produk yang dipasarkannya.
Stealth marketing ini dirasa efektif karena praktek pemasaran seperti ini dapat menghindari atau melewati defense mechanism yang terdapat dalam diri konsumen. Jadi konsumen tidak memiliki antipati terlebih dahulu akan pesan komunikasi pemasaran yang dilakukan pemasar, hal ini terjadi karena konsumen tidak menangkap secara eksplisit pesan tersebut. Kelebihan dari stealth marketing tersebut sayangnya pada kasus-kasus tertentu menimbulkan permasalahan etika di dalamnya.
Tiga hal permasalahan etika yang muncul dalam stealth marketing tersebut antara lain deception, intrusion dan exploitation. Praktek pemasaran stealth marketing tidak etis karena di dalamnya terdapat unsur deception, artinya terdapat unsur penipuan di dalamnya dan lebih berbahaya lagi praktek pemasaran seperti ini mendidik orang untuk berbohong dalam melakukan komunikasi pemasarannya. Stealth marketing juga tidak etis karena di dalamnya terdapat unsure intrusion, artinya terdapat unsur pelanggaran privasi atau kebebasan pribadi seseorang, salah satu contohnya adalah mengekang kebebasan seseorang untuk mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan pendapat dirinya. Terakhir, stealth marketing tidak etis karena di dalamnya terdapat unsur exploitation, exploitation yang terdapat dalam kasus-kasus stealth marketing di atas adalah exploitation dalam hal pemanfaatan kebaikan sifat manusia dalam hal interaksi sosial untuk kepentingan komersial perusahaan.

3.2 SARAN
Dari analisis sederhana mengenai permasalahan etika dalam stealth marketing, kami berpendapat ada beberapa implikasi dan saran dari permasalahan ini terhadap pembuat kebijakan publik, pemasar dan konsumen.
Terhadap pembuat kebijakan publik, dalam hal ini pemerintah dan lembaga-lembaga pelindung konsumen memberikan sanksi kepada para pemasar yang melakukan tindakan tidak etis dalam praktek pemasarannya karena hal ini akan membahayakan masyarakat sebagai contoh jika praktek pemasaran yang tidak etis terus-menerus dilakukan maka akan berdampak pada perilaku masyarakat yang tidak sesuai norma dan ajaran kerohanian seperti penipuan, pelanggaran kebebasan pribadi orang lain, dan eksploitasi interaksi sosial untuk kepentingan komersial. Selain itu pembuat kebijakan publik ini juga dapat melakukan kritikan yang terus menerus terhadap stealth marketing supaya masyarkat atau konsumen mengetahui dan memahami praktek-praktek pemasaran yang tidak etis seperti ini, sehingga mereka memiliki atau memperkuat defense mechanism dalam diri mereka masing masing.
Terhadap pemasar atau perusahaan, hendaknya mereka memikirkan dan melakukan cara-cara kreatif dalam praktek pemasarannya tanpa melanggar etika yang sesuai dengan norma dan ajaran kerohanian. Hal ini dituntut adanya Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan, artinya terdapat tanggung jawab sosial perusahaan dalam mendidik nilai-nilai yang positif bagi masyarakat atau lebih spesifik lagi bagi konsumen. Para pemasar juga perlu mempertimbangkan, jika terdapat banyak kritik terhadap praktek pemasaran stealth marketing yang tidak etis yang dilakukan perusahaan, maka hal ini akan berdampak buruk bagi citra perusahaan. Hal ini muncul karena, jika kritikan-kritikan tersebut diketahui oleh umum atau dipublikasikan kepada masyarakat banyak, maka konsumen juga pasti akan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan dan tidak menutup kemungkinan mereka akan bersikap skeptik kepada perusahaan beserta produk-produk yang dikeluarkannya.
Terhadap konsumen, praktek pemasaran stealth marketing yang sedang berkembang sekarang ini membuat konsumen harus lebih berhati-hati terhadap bujukan-bujukan tersembunyi dari perusahaan. Konsumen harus lebih kritis terhadap praktek pemasaran yang tidak etis ini, karena jika tidak maka akan mudah sekali terbujuk bukan karena stealth marketing ini dilakukan melalui interaksi sosial, tapi juga karena dilakukan dengan melewati defense mechanism yang dimiliki konsumen (Obermiller dan Spangenberg),

SUMBER : lpks1.wima.ac.id/pphks/accurate/makalah/PR9.pdf